Dilihat dari kacamata politik, ada perbedaan pemerintahan saat ini dengan pemerintahan terdahulu dalam mengumumkan kenaikan harga BBM. Ketika pemerintahan dulu (pemerintahan Alm. H.M Soeharto), kenaikan BBM langsung diumumkan resmi kepada masyarakat, sehingga tidak menimbulkan situasi yang ‘ngambang’ dimasyarakat, tidak banyak demo yang terjadi (memang demonstrasi jaman dulu tidak sebebas sekarang), serta para oknum tidak sempat mempermainkan kondisi pasar dengan menaikkan harga terlebih dahulu. Pada saat pemerintahan sekarang ini adalah kebalikannya. Kembali lagi kita bertanya pada hati nurani kita, siapakah yang paling dirugikan? Tentu saja rakyat kecil, bukan rakyat ‘besar’, bukan orang yang berkantong tebal, bukan anggota DPR/DPRD yang duduk di atas kursi empuk, bukan pula pejabat-pejabat yang berkantor di gedung yang sejuk karena ada AC-nya.
Bersamaan dengan kenaikan harga BBM ini, pemerintah mulai mendistribusikan kartu BLT (Bantuan Langsung Tunai) kepada rakyat miskin (siapa saja sih yang miskin itu??) sebagai kompensasi atas kenaikan BBM setelah sempat ‘istirahat’ di tahun 2006 dan 2007. Apakah itu solusi terbaik?
Menurut opini masyarakat bawah (jika diberi pilihan), mereka lebih memilih harga BBM tidak naik, sehingga tidak berdampak luas pada kenaikan harga barang terutama barang kebutuhan pokok. Terutama pada saat isu kenaikan berhembus, beberapa barang kebutuhan pokok sudah ada yang naik. Meskipun tidak menerima BLT (Bantuan Langsung Tunai), asalkan kondisi harga barang tidak mengalami kenaikan, itu lebih baik daripada harus mengalami kenaikan bermacam-macam barang karena kenaikan harga tidak dapat tertutupi oleh BLT (itupun bagi yang mendapatkan kartu BLT). Bila kenaikan BBM terjadi, ada satu kondisi yang lebih menyedihkan yaitu warga yang benar-benar tidak mampu/miskin tidak mendapat kartu BLT (kemungkinan disebabkan kesalahan proses pendataan, dll). Keadaan akan semakin parah apabila kartu BLT tidak tepat sasaran. Pada saat kondisi stabil saja (belum ada isu kenaikan BBM), banyak penduduk di negeri ini yang sudah menderita karena hidupnya berada di bawah garis kemiskinan, apalagi diperparah dengan kondisi saat ini. Anda, saya dan kita semua sebagai manusia yang memiliki hati nurani, dapatkah kita merasakan penderitaan seperti apa yang mereka rasakan saat ini?
Menurut sebagian orang (kata yang berdemo menolak BLT), pemberian BLT kepada masyarakat adalah pembodohan. Kalau kita kaji lebih dalam lagi, pendapat ini memang masuk akal. Pemberian BLT sebenarnya memang tidak tepat. Lagi pula duit yang besarnya ‘hanya’ Rp. 100.000,- perbulan sebenarnya tidak mencukupi sebagai kompensasi atas kenaikan harga barang-barang akibat imbas kenaikan BBM. Masyarakat lebih memilih tidak menerima BLT, tetapi tidak ada kenaikan harga barang kebutuhan. Jika harus diberikan juga, menurut Sultan Hamengkubuwono X bahwa pemberian BLT sangatlah tidak tepat, tetapi lebih baik memberikan modal padat karya. Mengingat perilaku ekonomi kebanyakan orang
Bahkan ada di beberapa daerah, para lurah/kepala desa sepakat untuk menolak BLT ( tidak mau duit nih…). Mungkin orang awam akan berpendapat, bodoh sekali sih mereka yang menolak duit. Tetapi langkah ini sebenarnya tepat, karena mereka sudah memperhitungkan akibat-akibat yang akan terjadi bila pemberian BLT tetap dilakukan. Hal ini dapat dilihat dari kasus pembagian BLT tahun 2005 lalu yang banyak terjadi kekacauan pada saat proses pembagian dana BLT.