Selasa, 30 September 2014

Property Economics, Social-Cultural, Environment, Management, and Valuation


Yogyakarta (3/4/2014), Permasalahan di negeri ini dalam konteks kekayaan aset negara luar biasa. Keberadaan aset negara saat ini belum ada hukum yang kokoh. "Sumber utama korupsi di negeri ini adalah aset negara," ujar Doli D. Siregar dalam share session "Property Economics, Social-Cultural, Enviroment, Management, and Valuation" di gedung M.Si dan Doktor FEB UGM. Lebih lanjut, Doli mengatakan bahwa UU No. 2 tahun 2012 tentang Pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum motifnya lebih berpihak kepada kepentingan investor. Konsep hukum tanah di Indonesia berbeda dengan barat yang individual tetapi Indonesia bersama.
Doli mengatakan bahwa sejauh penilai belum mempunyai acuan yang tegas tentang anturan ganti rugi, maka permasalah aset masih ada. Di lain hal,adanya ketidaksinkronan antar aturan yang dikeluarkan oleh masing-masing instansi sehingga perlu satu kesepakatan yang utuh dari platform profesi penilai. "Penjarahan aset negara sampai detik ini masih terjadi," ungkapnya. Dilihat dari Konteks indentifikasi dan inventarisasi aset negara saat ini belum ada karena ketidakmapuan negara. "Aset daerah memiliki potensi tetapi kenyataan saat ini masih ketergantungan pada Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus," ujar Doli D. Siregar.
Indonesia mempunyai kekuatan besar pada perekonomian kedepan. Muhammad A. Muttaqin mengatakan bahwa Indonesia saat ini berada pada 16 besar negara dengan pertumbuhan ekonomi dan diprediksi pada 2030 akan menduduki 7 besar. Hal tersebut berdasarkan pada sektor konsumsi di indonesia besar dengan ditandai pendapatan dikalangan menengah tinggi karena tren pertumbuhan pendapatan perkapita meningkat. "Berdasarkan laporan kementerian keuangan nilai aset negara baru tercatat 3000 triliun itu baru dipemerintah pusat," ungkap Muttaqin. "Pertanyaannya sekarang adalah aset di daerah ada berapa besar?," imbuhnya.
Permasalahan yang saat ini adalah 340 orang penilai publikyang ada 80% penilai terkonsentrasi di Jabodetabek. Selain itu, di kawasan Indonesia Timur belum ada penilai sama sekali. Saat ini, peran penilai masih 63% disektor perbankan dan sisanya di sektor lain. Muttaqin menuturkan bahwa peranan profesi penilai masih sangat besar, seperti perbankan (agungan), pasar modal, laporan keuangan, dan pembangunan (kompensasi tanah). Profesi penilai di Indonesia belum ada undang-undang yang mengaturnya, meskipun di peraturan yang lain disebutkan. Negara tetangga sudah lebih awal memiliki UU penilai seperti, australia tahun 1926 dan malaysia tahun 1961. Kebutuhan ideal penilai di negara berkembang 40000:1 dan di negara maju sebanyak 6000:1. Kebutuhan idealpenilai publik pada tahun 2020 di Indonesia diperkirakan sebanyak 1100 penilai. Dengan demikian, menurut Muttaqin peluang terhadap perkembangan profesi penilai di Indonesia sangat besar begitu juga sebaliknyamemiliki acaman yang besar pula.
Awal mula munculnya istilah nilai menurut Akhmad Makhfatih telah dikenalkan oleh filsuf Yunani Artitotes. "Pada masa lalu nilai melihat kepentingan," ujar Makhfatih. "Ada anggapan bahwa seorang ekonomi pasti seorang penilai tetapi seorang penilai belum tentu ekonomi," imbuhnya. Perkembangan dan perdebatan tentang nilai diakhiri oleh Alfred Marshal menemukan partial equilibrium, nilai ditentukan dua kekuatan supply dan demand yang bertemu di pasar (nilai objektif X nilai subyetif) menjadi nilai equilibrium. Selanjutnya, valuation sudah lama tidak dibahas dibidang ekonomi. Makhfatih mengatakan bahwa kelompok engeneering kemudian lebih banyak mengembangkan valuation. Di sisi lain, kelompok ekonomi yang banyak menggunakanhedonic pricingmethod dan contingency method.[dilaporkan oleh Prastowo (redaksi Majalah MEP UGM 2014]

Tidak ada komentar: