Populasi
yang terus menurun menyebabkan Jepang mengalami permasalahan serius dalam
perkembangan kota-kotanya. Jumlah penduduk usia lanjut terus meningkat,
sementara jumlah penduduk usia produktif terus menurun. Globalisasi juga
memberikan dampak negatif dengan menurunnya tingkat investasi di Jepang, yang
menyebabkan menyusutnya aglomerasi
kantor-kantor cabang di kota-kota utama Jepang. Menurut Oxford Dictionary of Geography,
aglomerasi adalah sebuah konsentrasi kegiatan ekonomi pada sektor-sektor yang saling
terkait di dalam wilayah geografis, yang disebabkan oleh faktor akumulatif
seperti berkumpulnya tenaga kerja terampil dan terdidik, maupun faktor
kebijakan dan perencanaan olehotoritas lokal yang berwenang, misalnya
pemerintah kota. Akibatnya kota berhenti tumbuh dan berkembang, juga tidak ada
pertumbuhan fisik yang berarti di sub urban area, sebaliknya pemukiman di sub
urban area ditinggalkan atau berganti kepemilikan. Compact City dan networking
menjadi salah satu upaya pemerintah kota di Jepang dalam mempertahankan
pertumbuhan dan perkembangan kota.
1. Kondisi Penduduk Jepang
Populasi
Jepang pada tahun 2010 adalah 128.057.352 orang dengan luas area 378.000 km2. Sebagian
besar penduduk Jepang terkonsentrasi di perkotaan, dengan tingkat kepadatan mencapai
91% pada tahun 2010. Namun, tingkat pertumbuhan penduduk nasional sejak tahun
2000 hingga tahun 2010 hanya berada di tingkat 0,9%, dengan tingkat pertumbuhan
penduduk di perkotaan sebesar 4%. Dalam studi Urban Geography, kota-kota di
Jepang dapat dibagi dalam 4 (empat) kelas utama, yaitu kota utama, kota
tua-besar, kota pusat region, dan ibukota provinsi.
Terdapat
tiga kota utama di Jepang, yaitu Tokyo, Nagoya, dan Osaka. Sementara itu yang termasuk
kedalam 6 (enam) kota-tua besar adalah Tokyo, Osaka, Kyoto, Nagoya, Hiroshima,
dan Fukuoka. Kota pusat region dari utara ke selatan adalah Sapporo, Sendai,
Hiroshima, dan Fukuoka. Sementara ibukota provinsi adalah seluruh kota yang
menjadi ibu kota dari 47 provinsi yang ada di Jepang. Kota-kota ini dibagi
berdasarkan fungsi, sejarah, dan populasinya. Sebagian besar populasi penduduk terkonsentrasi
di daerah perkotaan, dimana populasi terbesar adalah Tokyo, diikuti oleh
Yokohama,Osaka, Nagoya, dan Sapporo.
Urbanisasi
adalah proses‘’peng-kotaan’’, ditandai dengan pertumbuhan fisik dan pertambahan
populasi yang terkonsentrasi di dalam kota. Urbanisasi terkait erat dengan modernisasi,
industrialisasi, dan proses perubahan sosiologi masyarakat. Sejak 1950an, urbanisasi
terjadi di LEDCs (Less Economically Developed Countries) yaitu, Amerika
Selatan,Africa, dan Asia.
2. Perubahan Demografi Jepang
Populasi
penduduk Jepang pada tahun 1950 adalah kurang dari 100 juta jiwa dan pada
periode tahun 1960 sampai dengan 2000 populasi penduduk di dominasi oleh
penduduk usia 20 – 64 tahun. Tetapi, sejak tahun 2010 tren populasi penduduk
usia muda terus menurun, sementara populasi penduduk usia tua (>65 tahun) terus
meningkat. Dari tahun 1950 hingga 2010, dalam kurun waktu 60 tahun, pertumbuhan
penduduk Jepang hanya sekitar 28 juta jiwa.
Rasio
populasi penduduk usia >65tahun terus meningkat dari tahun ke tahun, dan
diprediksi bahwa pada tahun 2060, rasio populasi penduduk usia >65 tahun
akan mencapai 40% dari seluruh total populasi penduduk Jepang.
Tingkat
kelahiran penduduk Jepang juga menunjukkan tren yang terus menurun sejak tahun 1970.
Saat ini, tingkat kelahiran penduduk di Jepang berada dibawah 1,5, yang menunjukkan
bahwa Jepang sedang mengalami permasalahan serius terkait pertumbuhan penduduk.
Karena untuk mempertahankan keberlangsungan suatu budaya, ekonomi, bahkan suatu
negara, paling tidak dibutuhkan tingkat kelahiran diatas 2,1.
Jepang
mengalami dua kali ledakan kelahiran bayi, yaitu periode 1947-1949 dan periode
1971-1974. Pada tahun 1966, dikenal dengan periode Hinoeuma, yaitu sebuah
periode dimana tingkat kelahiran bayi di Jepang sangat rendah dibandingkan dengan
tahun-tahun sebelumnya. Hinoeuma atau dikenal juga dengan tahun Fire Horse,
dipercaya oleh masyarakat Jepang sebagai tahun yang buruk, mereka percaya bahwa
bayi-bayi perempuan yang dilahirkan di tahun itu ditakdirkan akan membunuh
suami-suami mereka di masa depan. Sehingga sebagian besar pasangan yang menikah
pada tahun ini menunda kehamilan dengan menggunakan metode kontrasepsi, dalam
periode 2 hingga 6 tahun sejak pernikahan.
Menurut
Sensus Nasional 2005 yang dilakukan oleh
Ministry of Internal Affairs and Communications, tingkat populasi usia 25-39
yang tidak menikah terus meningkat. Pria usia 25-29 meningkat menjadi 71.4%,
usia 30-34 menjadi 47.1%, dan usia 35-39 menjadi 30%. Sementara wanita usia
25-29 meningkat menjadi 59%, usia 30-34 menjadi 32%, dan usia 35-39 menjadi
18.4%. Lebih lanjut, pada tahun 1975 populasi pria yang tidak menikah seumur
hidupnya hanya 2.12%, dan pada tahun 2005 meningkat menjadi 15.96%, sedangkan
wanita dari 4,32% pada tahun 1975 meningkat menjadi7.25% pada tahun 2005.
3. Berhentinya Pertumbuhan dan Perkembangan Kota
Gambar
9. Peta Prosentase Commuter di kota Tokyo
Peta
pada Gambar 9 di bawah menggambarkan bahwa pertumbuhan dan perkembangan kota
Tokyo sudah berhenti sejak tahun 1985. Hal ini ditunjukkan oleh warna merah,
oranye, dan kuning pada peta, dimana sebagian besar commuter tinggal di dalam radius
60 km saja dari pusat kota Tokyo. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai lokasi
perkantoran dari tempat tinggal adalah 1 – 2 jam. Pertumbuhan dan perkembangan fisik
Kota Tokyo tidak lagi tumbuh meluas ke segala arah sebagaimana yang terjadi
pada Jakarta, New Delhi, dan Bangkok. Penyebabnya adalah rendahnya jumlah
populasi usia produktif di sub urban dan sebagian besar hanya terkonsentrasi di
pusat kota, investasi yang lebih banyak dilakukan di luar Jepang juga menjadi
salah satu sebab berhentinya pembangunan fisik di daerah sub urban Tokyo
seperti dijelaskan diatas.
Populasi
penduduk usia >65 tahun yang tinggi kini terkonsentrasi pada sub urban area,
sebagaimana terlihat pada peta di Gambar 10.
Gambar 10. Pola Spasial Penduduk
Usia 65 Tahun Keatas di Tokyo
Pada
tahun 1990 populasi penduduk usia 65 tahun keatas diluar Tokyo Metropolitan
area masih berkisar 15-20%, namun pada tahun 2005 populasi penduduk usia ini meningkat
menjadi 20-25% dari total populasi. Pada sub urban area Kota Sendai, berhentinya
pertumbuhan dan perkembangan kota di
tandai dengan kosongnya kamar kamar yang tersedia pada kondominium-kondominium,
rumah-rumah yang ditinggalkan oleh penghuninya, serta rumah rumah yang
berpindah-tangan hak kepemilikannya.
4. Kebijakan Pemerintah
Pemerintah
Jepang telah dan sedang berupaya untuk mengatasi permasalahan urbanisasi. Salah
satu solusi yang telah diterapkan adalah penerapan konsep Compact city. Compact
city adalah sebuah konsep untuk membangun kota dengan penggunaan lahan yang intensif,
didukung oleh sistem transportasi yang terintegrasi, dan terus membangun dan
memperluas network dengan berbagai kota kota besar lainnya di luar Jepang untuk
meningkatkan kerjasama di berbagai bidang, agar kegiatan perekonomian terus
berputar. Compact city di Jepang ditandai dengan bangunan-bangunan kondominium
tinggi.
Sementara
itu, untuk mengatasi permasalahan urbanisasi di Kota Sendai, Pemerintah Kota
Sendai menerapkan strategi penggunaan lahan intensif, berbasis sistem transportasi
yang teritegrasi. Sistem transportasi terintegrasi ini diharapkan dapat menghubungkan
empat sub urban area utama di Kota Sendai, yaitu; Izumi di bagian utara, Arai
dibagian barat, Natori New Town dan Diamond City di bagian selatan, serta
Moniwadai dan Yagiyama dibagian timur.
Pekerjaan
pembangunan Sendai Subway Tozai Line sepanjang 13.9 km masih terus berlangsung
hingga saat ini, untuk menghubungkan bagian barat dan timur kota Sendai. Proyek
ini diperkirakan akan selesai pada tahun 2015 (mundur satu tahun dari rencana semula
karena gempa 11 Maret 2011). Sendai Subway Tozai Line menghubungkan Arai sub urban
area di bagian barat Kota Sendai dengan Yagiyama dan Moniwadai di bagian timur.
Proyek pembangunan masih terus berlangsung.
Kerjasama
yang dibangun oleh Tohoku University dengan berbagai Universitas di luar Jepang
juga menjadi salah satu upaya Kota Sendai untuk bertahan. Paling tidak terdapat
lima program pertukaran pelajar di Tohoku University dengan Universitas rekanan
di luar Jepang, yaitu JYPE, IPLA, DEEP, COLABS,dan ICI ECP. Kedatangan ratusan
pelajar ini diharapkan dapat membuat ekonomi kota terus berputar dalam jangka
pendek, dan dalam jangka panjang diharapkan mereka dapat menetap dan bekerjadi
Jepang untuk menopang perekonomian.
5. Kesimpulan
Urbanisasi
di Jepang dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal
adalah populasi penduduk usia produktif dan tingkat kelahiran yang terus menurun.
Faktor eksternal adalah globalisasi yang membuat tren investasi keluar dari
Jepang. Untuk mengantisipasi terjadinya kota kota mati di Jepang, pemerintah
dimasing-masing kota berupaya keras untuk membangun kota menjadi Compact City.
Hal ini ditandai dengan pembangunan pemukiman di tengah kota dan sub urban area
yang didukung oleh sistem transportasi terintegrasi dan terus membangun network
dengan kota kota besar lainnya di luar Jepang untuk menjaga kestabilan ekonomi.
Universitas-universitas yang terdapat di masing-masing kota juga berperan
penting dalam menjalin networking untuk mendukung kehidupan kota.
Sumber : Dari
tulisan Fatwa Ramdani and Masateru Hino yang berjudul Kondisi Terkini
Urbanisasi di Jepang, Studi Kasus Tokyo
Metropolitan Area dan Kota Sendai (Institute
of Geography, Geo-environment, Graduate School Science, Tohoku University,
Japan) setelah melalui proses resume dan editing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar