Kamis, 18 September 2014

Urbanisasi di Negara Jepang



Pendahuluan
Populasi yang terus menurun menyebabkan Jepang mengalami permasalahan serius dalam perkembangan kota-kotanya. Jumlah penduduk usia lanjut terus meningkat, sementara jumlah penduduk usia produktif terus menurun. Globalisasi juga memberikan dampak negatif dengan menurunnya tingkat investasi di Jepang, yang menyebabkan menyusutnya aglomerasi kantor-kantor cabang di kota-kota utama Jepang. Menurut Oxford Dictionary of Geography, aglomerasi adalah sebuah konsentrasi kegiatan ekonomi pada sektor-sektor yang saling terkait di dalam wilayah geografis, yang disebabkan oleh faktor akumulatif seperti berkumpulnya tenaga kerja terampil dan terdidik, maupun faktor kebijakan dan perencanaan olehotoritas lokal yang berwenang, misalnya pemerintah kota. Akibatnya kota berhenti tumbuh dan berkembang, juga tidak ada pertumbuhan fisik yang berarti di sub urban area, sebaliknya pemukiman di sub urban area ditinggalkan atau berganti kepemilikan. Compact City dan networking menjadi salah satu upaya pemerintah kota di Jepang dalam mempertahankan pertumbuhan dan perkembangan kota.

1.  Kondisi Penduduk Jepang
Populasi Jepang pada tahun 2010 adalah 128.057.352 orang dengan luas area 378.000 km2. Sebagian besar penduduk Jepang terkonsentrasi di perkotaan, dengan tingkat kepadatan mencapai 91% pada tahun 2010. Namun, tingkat pertumbuhan penduduk nasional sejak tahun 2000 hingga tahun 2010 hanya berada di tingkat 0,9%, dengan tingkat pertumbuhan penduduk di perkotaan sebesar 4%. Dalam studi Urban Geography, kota-kota di Jepang dapat dibagi dalam 4 (empat) kelas utama, yaitu kota utama, kota tua-besar, kota pusat region, dan ibukota provinsi.

Terdapat tiga kota utama di Jepang, yaitu Tokyo, Nagoya, dan Osaka. Sementara itu yang termasuk kedalam 6 (enam) kota-tua besar adalah Tokyo, Osaka, Kyoto, Nagoya, Hiroshima, dan Fukuoka. Kota pusat region dari utara ke selatan adalah Sapporo, Sendai, Hiroshima, dan Fukuoka. Sementara ibukota provinsi adalah seluruh kota yang menjadi ibu kota dari 47 provinsi yang ada di Jepang. Kota-kota ini dibagi berdasarkan fungsi, sejarah, dan populasinya. Sebagian besar populasi penduduk terkonsentrasi di daerah perkotaan, dimana populasi terbesar adalah Tokyo, diikuti oleh Yokohama,Osaka, Nagoya, dan Sapporo.

Urbanisasi adalah proses‘’peng-kotaan’’, ditandai dengan pertumbuhan fisik dan pertambahan populasi yang terkonsentrasi di dalam kota. Urbanisasi terkait erat dengan modernisasi, industrialisasi, dan proses perubahan sosiologi masyarakat. Sejak 1950an, urbanisasi terjadi di LEDCs (Less Economically Developed Countries) yaitu, Amerika Selatan,Africa, dan Asia.


2.  Perubahan Demografi Jepang
Populasi penduduk Jepang pada tahun 1950 adalah kurang dari 100 juta jiwa dan pada periode tahun 1960 sampai dengan 2000 populasi penduduk di dominasi oleh penduduk usia 20 – 64 tahun. Tetapi, sejak tahun 2010 tren populasi penduduk usia muda terus menurun, sementara populasi penduduk usia tua (>65 tahun) terus meningkat. Dari tahun 1950 hingga 2010, dalam kurun waktu 60 tahun, pertumbuhan penduduk Jepang hanya sekitar 28 juta jiwa.
Rasio populasi penduduk usia >65tahun terus meningkat dari tahun ke tahun, dan diprediksi bahwa pada tahun 2060, rasio populasi penduduk usia >65 tahun akan mencapai 40% dari seluruh total populasi penduduk Jepang.
Tingkat kelahiran penduduk Jepang juga menunjukkan tren yang terus menurun sejak tahun 1970. Saat ini, tingkat kelahiran penduduk di Jepang berada dibawah 1,5, yang menunjukkan bahwa Jepang sedang mengalami permasalahan serius terkait pertumbuhan penduduk. Karena untuk mempertahankan keberlangsungan suatu budaya, ekonomi, bahkan suatu negara, paling tidak dibutuhkan tingkat kelahiran diatas 2,1.
Jepang mengalami dua kali ledakan kelahiran bayi, yaitu periode 1947-1949 dan periode 1971-1974. Pada tahun 1966, dikenal dengan periode Hinoeuma, yaitu sebuah periode dimana tingkat kelahiran bayi di Jepang sangat rendah dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Hinoeuma atau dikenal juga dengan tahun Fire Horse, dipercaya oleh masyarakat Jepang sebagai tahun yang buruk, mereka percaya bahwa bayi-bayi perempuan yang dilahirkan di tahun itu ditakdirkan akan membunuh suami-suami mereka di masa depan. Sehingga sebagian besar pasangan yang menikah pada tahun ini menunda kehamilan dengan menggunakan metode kontrasepsi, dalam periode 2 hingga 6 tahun sejak pernikahan.
Menurut Sensus Nasional  2005 yang dilakukan oleh Ministry of Internal Affairs and Communications, tingkat populasi usia 25-39 yang tidak menikah terus meningkat. Pria usia 25-29 meningkat menjadi 71.4%, usia 30-34 menjadi 47.1%, dan usia 35-39 menjadi 30%. Sementara wanita usia 25-29 meningkat menjadi 59%, usia 30-34 menjadi 32%, dan usia 35-39 menjadi 18.4%. Lebih lanjut, pada tahun 1975 populasi pria yang tidak menikah seumur hidupnya hanya 2.12%, dan pada tahun 2005 meningkat menjadi 15.96%, sedangkan wanita dari 4,32% pada tahun 1975 meningkat menjadi7.25% pada tahun 2005.

3.  Berhentinya Pertumbuhan dan Perkembangan Kota


Gambar 9. Peta Prosentase Commuter di kota Tokyo

Peta pada Gambar 9 di bawah menggambarkan bahwa pertumbuhan dan perkembangan kota Tokyo sudah berhenti sejak tahun 1985. Hal ini ditunjukkan oleh warna merah, oranye, dan kuning pada peta, dimana sebagian besar commuter tinggal di dalam radius 60 km saja dari pusat kota Tokyo. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai lokasi perkantoran dari tempat tinggal adalah 1 – 2 jam. Pertumbuhan dan perkembangan fisik Kota Tokyo tidak lagi tumbuh meluas ke segala arah sebagaimana yang terjadi pada Jakarta, New Delhi, dan Bangkok. Penyebabnya adalah rendahnya jumlah populasi usia produktif di sub urban dan sebagian besar hanya terkonsentrasi di pusat kota, investasi yang lebih banyak dilakukan di luar Jepang juga menjadi salah satu sebab berhentinya pembangunan fisik di daerah sub urban Tokyo seperti dijelaskan diatas.
Populasi penduduk usia >65 tahun yang tinggi kini terkonsentrasi pada sub urban area, sebagaimana terlihat pada peta di Gambar 10.

Gambar 10. Pola Spasial Penduduk Usia 65 Tahun Keatas di Tokyo

Pada tahun 1990 populasi penduduk usia 65 tahun keatas diluar Tokyo Metropolitan area masih berkisar 15-20%, namun pada tahun 2005 populasi penduduk usia ini meningkat menjadi 20-25% dari total populasi. Pada sub urban area Kota Sendai, berhentinya pertumbuhan dan perkembangan  kota di tandai dengan kosongnya kamar kamar yang tersedia pada kondominium-kondominium, rumah-rumah yang ditinggalkan oleh penghuninya, serta rumah rumah yang berpindah-tangan hak kepemilikannya.

4.  Kebijakan Pemerintah
Pemerintah Jepang telah dan sedang berupaya untuk mengatasi permasalahan urbanisasi. Salah satu solusi yang telah diterapkan adalah penerapan konsep Compact city. Compact city adalah sebuah konsep untuk membangun kota dengan penggunaan lahan yang intensif, didukung oleh sistem transportasi yang terintegrasi, dan terus membangun dan memperluas network dengan berbagai kota kota besar lainnya di luar Jepang untuk meningkatkan kerjasama di berbagai bidang, agar kegiatan perekonomian terus berputar. Compact city di Jepang ditandai dengan bangunan-bangunan kondominium tinggi.
Sementara itu, untuk mengatasi permasalahan urbanisasi di Kota Sendai, Pemerintah Kota Sendai menerapkan strategi penggunaan lahan intensif, berbasis sistem transportasi yang teritegrasi. Sistem transportasi terintegrasi ini diharapkan dapat menghubungkan empat sub urban area utama di Kota Sendai, yaitu; Izumi di bagian utara, Arai dibagian barat, Natori New Town dan Diamond City di bagian selatan, serta Moniwadai dan Yagiyama dibagian timur.
Pekerjaan pembangunan Sendai Subway Tozai Line sepanjang 13.9 km masih terus berlangsung hingga saat ini, untuk menghubungkan bagian barat dan timur kota Sendai. Proyek ini diperkirakan akan selesai pada tahun 2015 (mundur satu tahun dari rencana semula karena gempa 11 Maret 2011). Sendai Subway Tozai Line menghubungkan Arai sub urban area di bagian barat Kota Sendai dengan Yagiyama dan Moniwadai di bagian timur. Proyek pembangunan masih terus berlangsung.
Kerjasama yang dibangun oleh Tohoku University dengan berbagai Universitas di luar Jepang juga menjadi salah satu upaya Kota Sendai untuk bertahan. Paling tidak terdapat lima program pertukaran pelajar di Tohoku University dengan Universitas rekanan di luar Jepang, yaitu JYPE, IPLA, DEEP, COLABS,dan ICI ECP. Kedatangan ratusan pelajar ini diharapkan dapat membuat ekonomi kota terus berputar dalam jangka pendek, dan dalam jangka panjang diharapkan mereka dapat menetap dan bekerjadi Jepang untuk menopang perekonomian.

5.   Kesimpulan
Urbanisasi di Jepang dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah populasi penduduk usia produktif dan tingkat kelahiran yang terus menurun. Faktor eksternal adalah globalisasi yang membuat tren investasi keluar dari Jepang. Untuk mengantisipasi terjadinya kota kota mati di Jepang, pemerintah dimasing-masing kota berupaya keras untuk membangun kota menjadi Compact City. Hal ini ditandai dengan pembangunan pemukiman di tengah kota dan sub urban area yang didukung oleh sistem transportasi terintegrasi dan terus membangun network dengan kota kota besar lainnya di luar Jepang untuk menjaga kestabilan ekonomi. Universitas-universitas yang terdapat di masing-masing kota juga berperan penting dalam menjalin networking untuk mendukung kehidupan kota.

Sumber : Dari tulisan Fatwa Ramdani and Masateru Hino yang berjudul Kondisi Terkini Urbanisasi di Jepang, Studi Kasus Tokyo Metropolitan Area dan Kota Sendai (Institute of Geography, Geo-environment, Graduate School Science, Tohoku University, Japan) setelah melalui proses resume dan editing.



Tidak ada komentar: