Pelayanan Penilaian sebagai salah satu tugas dan fungsi Kantor
Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) merupakan ujung tombak dari
pelaksanaan misi Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) dalam
mewujudkan nilai kekayaan negara yang wajar dan dapat dijadikan acuan
dalam berbagai keperluan. Tugas dan fungsi yang lahir bersamaan dengan
lahirnya DJKN ini sepenuhnya tidak dapat dilepaskan dari pengelolaan
Barang Milik Negara/Daerah (BMN/D) karena pada siklus pengelolaan
tersebut penilaian menjadi salah satu segmen yang berperan cukup
signifikan. Jika dilihat lebih lanjut peran ini juga termaktub dalam
salah satu azas pengelolaan BMN/D, yaitu azas kepastian nilai dimana
pengelolaan BMN/D harus didukung oleh adanya ketepatan jumlah dan nilai
barang dalam rangka optimalisasi pemanfaatan dan pemindahtanganan BMN/D
serta penyusunan neraca pemerintah.
Secara teknis penilaian adalah gabungan antara ilmu pengetahuan dan
seni dalam mengestimasi nilai dari sebuah kepentingan yang terdapat
dalam suatu properti bagi tujuan tertentu dan pada waktu yang telah
ditetapkan serta dengan mempertimbangkan segala karakteristik yang ada
pada properti tersebut termasuk jenis-jenis investasi yang ada di
pasaran. Pelaksanaan penilaian dilakukan oleh tim penilai yang
berjumlah ganjil. Pada implementasinya pelaksanaan penilaian mulai
dilakukan pada tahun 2007. Kegiatan awal penilaian yang dilaksanakan
secara nasional dan serentak didasari oleh Keputusan Presiden Nomor 17
Tahun 2007 dalam rangka Inventarisasi dan Penilaian (IP) BMN dengan
tujuan koreksi saldo awal Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP).
Mengikuti perkembangan proses penilaian yang dilakukan DJKN khususnya
terhadap BMN, telah terjadi perubahan angka pada neraca aset pada
pelaporan LKPP 2007 sampai dengan LKPP 2010 dimana kegiatan IP BMN masih
dilaksanakan. Grafik perubahan nilai BMN tersebut dapat digambarkan
sebagai berikut:
Kenaikan nilai BMN sangat signifikan pada tahun keempat penyelesaian IP
BMN. Kenaikan sebesar 227% tersebut memberikan gambaran yang lebih
wajar dalam LKPP sehingga opini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang
tadinya disclaimer berubah menjadi Wajar Dengan Pengecualian (WDP) dan
meningkat menjadi Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) DPP pada tahun 2012 dan
2013 dan puncaknya WTP di tahun 2014. Saat ini, untuk nilai aset pada
neraca pemerintah pusat hampir seluruhnya telah disajikan dengan nilai
wajar, sehingga permintaan penilaian dalam rangka koreksi nilai LKPP
juga sudah jauh berkurang.
Dalam perkembangannya, pengelolaan BMN/D telah mengalami kompleksitas
perubahan sehingga perlu disesuaikan. Perubahan ini diakomodir dengan
terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 sebagai pengganti
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan BMN/D
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008
tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 Tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah. Beberapa perubahan yang terjadi
juga menyinggung tentang Penilaian BMN/D serta personel yang melakukan
penilaian tersebut. Jika pada PP 6 / 2006 penilai dikenal dengan sebutan
penilai eksternal dan penilai internal, pada PP 27/2014 sebutan
tersebut berubah menjadi penilai pemerintah dan penilai publik.
Penilaian yang dilakukan penilai melahirkan nilai wajar/nilai pasar. Kamus Webster menyatakan nilai pasar yaitu a price at which both buyer and sellers are willing to do business
atau suatu harga di mana baik pembeli maupun penjual berkehendak
melakukan transaksi. Nilai wajar atau nilai pasar atas BMN/D yang
diperoleh dari penilaian ini merupakan unsur penting tidak hanya dalam
rangka penyusunan neraca pemerintah namun juga ditekankan untuk
kegiatan pemanfaatan dan pemindahtanganan BMN/D. Sebagai pihak yang
melakukan penilaian secara independen berdasarkan kompetensi yang
dimilikinya penilai dituntut untuk bertanggung jawab penuh terhadap
nilai wajar yang dikeluarkannya. Kondisi ini tentunya menuntut Penilai
untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas yang dimiliki. Pada PP 27
Tahun 2014 Pasal 51 Ayat (4)jelas dinyatakan “Dalam hal penilaian BMN
selain tanah dan/atau bangunan dalam rangka pemanfaatan atau
pemindahtanganan dilakukan oleh pengguna barang tanpa melibatkan
penilai, maka hasil penilaian BMN/D hanya merupakan nilai taksiran”.
Jika kita cermati lebih lanjut nilai yang digunakan dalam rangka
pemanfaatan atau pemindahtanganan hanyalah nilai wajar yang merupakan
produk dari penilai, sehingga dalam proses penetapan nilai untuk
pemanfaatan maupun pemindahtanganan, baik tanah dan/atau bangunan
maupun selain tanah dan/atau bangunan penilai memiliki peran krusial
dalam proses tersebut.
Mencoba memahami hal tersebut, dengan paradigma baru pada PP 27/2014
tidak dapat dipungkiri Penilaian dan Penilai menjadi sebuah kegiatan
dan peran yang “seksi” dalam pengelolaan BMN/D. Apalagi jika ditelisik
lebih jauh, sebagai penilai Pegawai Negeri Sipil di lingkungan
pemerintah yang diangkat oleh kuasa Menteri Keuangan serta diberi tugas,
wewenang, dan tanggung jawab untuk melakukan penilaian, peran itu baru
dimiliki oleh para penilai di DJKN. Sebuah keseksian yang tidak dapat
dihindari. Hal yang seksi tentulah menarik untuk didekati dan paling
sering dibicarakan. Keseksian akan menjadi trending topic dalam
setiap lingkup pembicaraan, dan keseksian penilai dan penilaian akan
menjadi sorotan dalam proses pengelolaan BMN/D. Lalu bagaimana penilai
DJKN menikmati sorotan tersebut. Layaknya peragawati yang berjalan di
atas catwalk, “seluruh sorot mata mengarah padanya”. Dengan
kondisi ini maka akan mudah mendapatkan kritikan daripada pujian, karena
melaksanakan peran dengan benar itu suatu keharusan sedangkan jika
berbuat kesalahan tidak ada toleransi untuk itu. Sekecil apapun
kesalahan tersebut dapat dibahas dalam berbagai sudut pandang dengan
sejumlah komentator yang membawa preferensinya masing-masing. Sehingga
sebuah keseksian tidak dapat menerima kesalahan. Apalagi jika
dikembalikan pada penjelasan pada PP 27/2014 yang secara nyata
menyebutkan nilai wajar yang diperoleh dari hasil Penilaian menjadi
tanggung jawab Penilai.
Nilai wajar atau nilai pasar yang menjadi tanggung jawab penilai dapat
muncul dari berbagai pendekatan penilaian, baik pendekatan data pasar,
pendekatan biaya maupun pendekatan pendapatan. Pada prosesnya penilai
DJKN telah dilengkapi dengan Peraturan Menteri Keuangan sampai Surat
Edaran Direktur Jenderal Kekayan Negara yang menjadi pedoman
pelaksanaan penilaian di lapangan. Sampai saat ini tuntutan kesempurnaan
tetap diberikan kepada para Penilai DJKN. Kegiatan quality assurance, peer review
dan kaji ulang laporan penilaian menunjukkan gerakan yang tiada henti
untuk mempertahankan keseksian penilaian dan penilainya. Secara personel
tentunya penilai DJKN perlu terus menerus menjaga “performance”. Ibarat
peragawati yang begitu care dengan bentuk tubuh dan cara
jalannya, maka Penilai DJKN harus peduli dengan kemampuannya menggunakan
pendekatan penilaian dan mempertahankan hasil kerjanya yang
independen.
Independensi yang dimiliki penilai terus menerus digaung-gaungkan,
karena semua unsur menyadari menjadi independen di tengah sistem dengan
tingkat subyektivitas tinggi bukanlah hal mudah, namun bukan berarti
tidak bisa. Mempertanggungjawabkan hasil penilaian yang independen dapat
diartikan bahwa penilai dalam kerjanya haruslah netral dan tidak
memihak, juga tidak dalam kondisi melaksanakan keinginan pihak tertentu.
Dalam konteks ini sudah sewajarnya seorang penilai DJKN dalam
melaksanaan penilaian harus objektif, bertanggungjawab terhadap hasil
kerjanya, jujur dan apa adanya serta konsisten dalam tindakannya.
Tampilan perilaku ini telah memastikan penilai DJKN memiliki integritas
tinggi, sehingga dapat dipastikan mampu menjaga kode etik dan
prinsip-prinsip moralnya. Selain mengimplementasikan nilai integritas,
Penilai DJKN sepenuhnya juga harus bekerja Profesional, menciptakan
sinergi, mengutamakan pelayanan dan meningkatkan diri menuju
kesempurnaan.
Pada masa datang cukup banyak peran besar yang menuntut kemampuan
penilai DJKN, dan sebagai salah satu bentuk penugasan yang bersifat
khusus menjadikan penilai DJKN sebagai sebuah jabatan fungsional
bukanlah hal yang mustahil. Apabila hal ini dapat terwujud, pemikiran
tentang kode etik Penilai menjadi sebuah keniscayaan.
Penilai DJKN, profesional dan terpercaya.
(Maulina Fahmilita, Kepala Seksi Pelayanan Penilaian KPKNL Pekanbaru)